IKLAN BARIS

DALAM TUGASNYA WARTAWAN KAMI SELALU DIBEKALI KARTU PERS DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA IMBALAN APAPUN DARI NARASUMBER KECUALI IKLAN
RUANG IKLAN

Jenis Tarif Ad Valorem Bakal Diterapkan Tahun Ini

Selain menaikkan batas bawah tarif tetap bea meterai, pemerintah berencana menerapkan jenis tarif ad valorem dalam revisi UU Bea Meterai tahun ini.
Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak (DJP) Irawan mengatakan jenis tarif pajak tersebut dikenakan dengan skema besaran persentase tertentu dari nilai barang atau transaksi. Dengan demikian, pajak yang dikenakan bersifat progresif.

“Selama ini sudah dikenakan bea meterai, tapi dengan tarif tetap. Ke depan dengan tarif persentase, jadi tergantung nilainya. Nah ini jugabenchmarking-nya juga sudah international practice,” ujarnya seperti dikutip Bisnis.com, Senin (9/3/2015)
Adapun, sejumlah dokumen yang akan dikenai skema ini, sambungnya, a.l. dokumen yang terkait dengan transaksi pengalihan properti, asset, dan bangunan, transaksi saham, dan surat berharga lainnya.  Namun pihaknya mengaku besaran persentase tarif masih dalam kajian.
Dia hanya mencontohkan jika tarif meterai 1% dan harga satu lembar saham Rp100.000, besaran bea yang dibayar akan menyesuaikan dengan besaran transaksi saham. Begitu pula dengan pengenaan tarif pada properti.
Menilik Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai yang merupakan turunan UU Nomor 13/1985 tentang Bea Meterai, seluruh dokumen dikenakan tarif tetap.
Dalam beleid tersebut, efek maupun sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp1 juta dikenakan bea meterai dengan tarif sebesar Rp3.000. Sementara, efek yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp1 juta dikenai bea meterai dengan tarif Rp6.000.
Untuk akta notaris termasuk salinannya dan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya dikenai tarif Rp6.000.
Irawan mengatakan tarif bea meterai saat ini sudah mentok sehingga tidak dimungkinan kenaikan sebelum adanya revisi UU Bea Meterai. Dalam UU tersebut, tarif dasar atau batas bawah senilai Rp500 dan Rp1.000.
Dengan besaran tarif saat ini, Rp3.000 dan Rp6.000, pemerintah tidak bisa lagi menaikan tarif karena dalam UU tersebut, kenaikan hanya bisa dilakukan maksimal enam kali dari tarif dasar. Menurut Irawan, dengan kemampuan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini, perlu ada perombakan tarif.
Kasubdit Peraturan PPN, Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lain DJP Oktria Hendrarji mengatakan pemerintah tengah mengaji tarif dasar baru senilai Rp10.000 dan Rp18.000.
“Kita lihat pertumbuhan ekonomi naik. Kita sudah masuk G20 dan pada 2030 diramalkan masuk menjadi negara keenam ekonomi terbesar dunia. Akan banyak transaksi keuangan dengan dokumen yang diterbitkan. Maka kita akan sesuaikan bea materai,” ujarnya.
Ditemui di kantor Kemenkeu, Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito menegaskan memang akan ada dua jenis tarif pada bea meterai nantinya, yakni persentase dan nilai tetap. Sayangnya, mengaku lupa terkait besaran persentase dan tarif tetap yang akan diterapkan.
“Ada angkanya, saya enggak hafal. Pokoknya tahun ini udah di Prolegnas untuk dibahas. DPR janji dalam waktu dekat ini didahulukan,” katanya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai seharusnya pemerintah hanya menaikkan tarif yang ada tanpa mengubah skema ke ad valorem karena Indonesia masih terkendala sulitnya pengawasan.
“Cukup bikin tiga lapis tarif, Rp10.000, Rp20.000, dan Rp50.000. Dokumen itu cukup dikenai Rp50.000 saja cukup. Kalau persentase, itu proporsional dan cenderung menciptakan perilaku menghindar, bisa konspiratif dengan notaris PPAT,” jelasnya.
Selain itu, sambungnya, bea meterai tidak bisa jadi tax credit sehingga bisa membebani. Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus saja pada pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Terlalu banyak kenaikan tarif dan perombakan, lanjut dia, justru bukan strategi yang baik untuk menggenjot penerimaan.
“Paradigmanya jangan aji mumpung yang ujung-ujungnya beban jadi bertumpuk dan berat,” tegasnya.

Sumber :  Kurniawan Agung Wicaksono finansial.bisnis.com