Oleh : Dr. Jelly Nasseri,S.H.,M.H. (Notaris/PPAT dan Dosen)
Dr. Jelly Nasseri, SH., MH (baju putih) |
Pada dasarnya, negara-negara
yang sedang berkembang sangat membutuhkan investasi, khususnya investasi asing.
Tujuan investasi ini adalah mempercepat laju pembangunan di negara tersebut. Tingkat
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat merupakan tolok ukur bagi kemajuan
pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara, termasuk Indonesia. Melalui
tahapan-tahapan pembangunan dengan sasaran utama terciptanya landasan yang
kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatannya
sendiri, Indonesia sebagai negara berkembang juga melaksanakan dan melanjutkan
pembangunan di berbagai bidang kehidupan. Berdasarkan perencanaan pembangunan
jangka panjang sebagai arah dan prioritas utama, pembangunan dilakukan secara
bertahap sehingga kegiatan tersebut dapat berjalan secara efektif, efisien dan
tepat sasaran demi tercapainya tujuan negara, yaitu kesejahteraan rakyat.
Potensi sumber daya alam
Indonesia yang melimpah, belum sepenuhnya dapat diberdayakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat karena masih terbatas pada modal yang ada,
teknologi serta sumber daya manusia. Salah satu usaha yang dapat dilakukan
adalah menarik sebanyak mungkin investasi asing melalui penanaman modal asing
ke negara tersebut. Penanaman modal, baik penanaman modal dalam negeri maupun
penanaman modal asing kini dirasakan sebagai salah satu penunjang perekonomian
suatu negara. Penanaman modal sangat signifikan dengan kebutuhan dan
pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Upaya di dalam negeri umumnya
mencakup upaya yang tergolong ke dalam 4 (empat) faktor utama, yaitu :
1. Faktor ekonomi
Faktor ini mencakup akses pasar
ke dalam negeri, tersedianya infrastruktur yang baik, seperti sarana
transportasi dan komunikasi.
2. Faktor politik
Faktor ini mencakup antara lain
birokrasi yang sehat, efektif dan efisien dan sudah tentu kestabilan politik
dan keamanan di dalam negeri.
3. Faktor sosial
Di dalam faktor ini termasuk
adanya jaminan sosial bagi perusahaan,misalnya tidak adanya atau apabila sulit,
dapat dihindarinya pemogokan buruh perusahaan dengan berbagai alasan. Faktor
sosial ini yang menyangkut masalah hak asasi manusia (HAM) atau lingkungan
sangat peka bagi perusahaan penanaman modal asing dan bagi nasib buruh atau
pekerja yang bekerja pada perusahaan tersebut.
4. Faktor hukum.
Faktor ini mempunyai peranan
yang penting, termasuk kepastian hukum tentang penanaman modal asing di dalam
negeri. Kepastian hukum ini mencakup adanya undang – undang penanaman modal
yang memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi penanaman modal asing dan
jaminan tidak adanya nasionalisasi terhadap penanaman modal asing.
Dewasa ini, arbitrase dipandang
sebagai pranata hukum yang penting sebagai salah satu cara penyelesaian
sengketa bisnis di luar pengadilan. Badan arbitrase sudah semakin popular dan semakin
banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa–sengketa internasional. Kemungkinan
dapat terjadi bahwa antara pemerintah dengan penanam modal asing terjadi
konflik. Konflik dapat diartikan sebagai pertentangan di antara para pihak
untuk menyelesaikan masalah yang kalau tidak diselesaikan dengan baik dapat
mengganggu hubungan di antara mereka. Sebuah konflik akan berubah menjadi sengketa bila
tidak dapat terselesaikan.
Kata arbitrase berasal dari
kata arbitrase (Latin), arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris),
schiedspruch (Jerman) dan arbitrage (Perancis), yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh
arbiter atau wasit. Alexander Goldstajn sebagaimana disitir oleh Huala
Adolf berpendapat bahwa arbitrase adalah salah satu prinsip fundamental dalam
hukum perdagangan internasional dikarenakan seringnya sengketa – sengketa di
bidang dagang diselesaikan melalui arbitrase.
Selain itu, menurut H. Priyatna
Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase merupakan istilah yang dipakai untuk
menjabarkan suatu bentuk tata cara damai yang seusai atau sebagai penyediaan
dengan cara bagaimana menyelesaikan sengkea yang timbul sehingga mencapai suatu
hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat. Berdasarkan
Black’s Law Dictionary, maka adapun pengertian dari arbitrase adalah :
“Arbitration. The reference
of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the
dispute who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued after
hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An arrangement
for taking and abiding by the judgement of selected persons in some disputed
matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is
intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of the
ordinary litigation.”
Maka, dari pengertian tersebut
penulis dapat menarik beberapa hal penting, yaitu :
1.
Penyelesaian sengketa dilakukan dengan bantuan pihak ketiga yang dipilih oleh
para pihak
2.
Adanya proses dengar pendapat dari para pihak yang bersengketa
3.
Para pihak terikat pada putusan arbiter tersebut
4. Menghindari proses
penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang memakan waktu lama dan biaya yang
besar.
Pengaturan mengenai arbitrase
di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU Arbitrase dan
APS). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase dan APS memberikan pengertian
arbitrase sebagai berikut :
Arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.
Berdasarkan definisi yang
diberikan UU Arbitrase dan APS, maka dapat dipahami bahwa arbitrase merupakan
cara penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi, dan perjanjian arbitrase
merupakan salah satu bentuk perjanjian tidak bernama yang harus dituangkan
dalam bentuk tertulis.
Meskipun penyelesaian sengketa
di dalam bidang penanaman modal asing tidak tertutup untuk diselesaikan melalui
jalur litigasi, naman pada praktiknya para pihak, khususnya investor asing
enggan untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui pengadilan nasional dari
negara tempat penanaman modal dilakukan. Hal ini disebabkan karena :
1.
Proses beracara dalam persidangan penyelesaian perkara perdata yang memakan
waktu lama.
2.
Harus melalui tahapan penyelesaian sengketa yang panjang.
3.
Membawa kerugian yang besar bagi investor karena biaya yang diperlukan untuk
penyelesaian perkara besar.
4.
Tidak adanya kerahasiaan (confidentiality) yang sangat merugikan pihak
investor, padahal hal tersebut merupakan salah satu hal terpeting dalam
kegiatan bisnis selain kepercayaan.
5.
Sering terjadi bahwa hakim kurang menguasai atau memahami terkait dengan
pranata hukum yang ada dalam sengketa para pihak.
6. Peradilan Indonesia dianggap
tidak dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi investor.
Di sisi lain, arbitrase semakin
berkembang dengan pesat di dunia dan banyak sekali digunakan untuk
menyelesaikan sengketa penanaman modal karena arbitrase mempunyai kelebihan-kelebihan
sebagai berikut :
1.
Kerahasiaan sengketa para pihak dijamin.
2.
Dapat menghindari keterlambatan penyelesaian sengketa akibat hal yang bersifat
prosedural dan administrasi.
3.
Para pihak dapat memilih arbiter untuk menyelesaikan sengketa yang didasarkan
pada penilaian pengetahuan, pengalaman arbiter.
4.
Para pihak dapat memilih hukum apa yang hendak diterapkan untuk menyelesaiakn
sengketa, termasuk memilih tempat dan waktu proses penyelenggaraan arbitrase.
5. Prosedur penyelesaian
sengketa sederhana dan keputusan arbiter mengikat para pihak sehingga dapat
langsung dilaksanakan.
Namun, adapun kelemahan
daripada penyelesaian sengkea melalui arbitrase antara lain :
1.
Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan membawanya ke
badan arbitrase tidaklah mudah.
2.
Pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing.
3.
Dalam arbitrase tidak selalu ada keterikatan kepada putusan-putusan arbitrase
sebelumnya.
4.
Arbitrase ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang definitive terhadap
semua sengketa hukum.
5. Putusan arbitrase selalu
tergantung kepada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan keputusan yang
memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak.
Penyerahan suatu sengketa
kepada arbitrase dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu :
1.
Pembuatan suatu compromis (arbitration agreement), yaitu
penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir. Dengan demikian,
ketika timbulnya sengketa, para pihak baru menyepakati cara untuk penyelesaian
sengketa tersebut sehingga tidak akan ditemukan pengaturannya dalam klausul
perjanjian mereka; atau
2. Melalui pembuatan suatu
klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (clause
compromissoire). Maka, pilihan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini
melalui arbitrase telah disepakati sebelumnya oleh para pihak dan dicantumkan
di dalam salah satu klausul dalam perjanjian mereka.
Berdasarkan kelembagaannya,
maka arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad hoc) dan arbitrase
permanen. Arbirase ad hoc bersifat temporer dan lahir apabila
dibutuhkan, yaitu adanya sengketa yang diajukan untuk diselesaikan melalui
arbitrase. Sementara itu, arbitrase permanen adalah lembaga permanen, mempunyai
aturan untuk beracara yang jelas, kedudukan dan kewenangannya jelas dan ada
yang terspesialisasi untuk menangani penyelesaian sengketa di bidang tertentu.
Salah satu badan arbitrase permanen untuk menyelesaikan sengketa internasional
dalam bidang penanaman modal adalah International Center for the Settlement
of Investment Dispute atau sering disebut ICSID.
ICSID diprakarsai oleh International
Bank for Recognition and Development (IBRD) atau disebut Bank Dunia melalui
Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and
Nationals of Other States (ICSID Convention), yang mana telah diratifikasi
Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1968 Tentang Persetujuan atas Konvensi Tentang Penyelesaian
Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal pada
tanggal 29 Juni 1968.
Keberadaan lembaga arbitrase
yang khusus untuk menangani masalah penanaman modal, terutama penanaman modal
asing tentunya membawa banyak dampak positif. Dampak positif bagi pihak
investor, antara lain :
1.
Arbitrase melalui ICSID merupakan salah satu cara penyelesaian sengkta dengan
negara penerima modal.
2.
Investor tidak terikat dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan
nasional.
3.
Investor tidak perlu mengandalkan bantuan negaranya untuk memberikan
perlindungan diplomatic kepadanya.
4. Terdapat kewajiban
negara-negara peratifikasi konvensi ICSID untuk melaksanakan putusan arbitrase
ICSID.
Adapun sisi positif dari
arbitrase ICSID bagi negara penerima modal antara lain :
1.
Konvensi ICSID memberikan keamanan atau jaminan hukum kepada investor tentang
adanya lembaga penyelesaian sengketa yang netral sehingga dapat menarik
investor ke dalam negaranya.
2. Dengan adanya arbitrase
ICSID, negara penerima modal tidak perlu lagi berhadapan dengan kebijakan atau
tindakan perlindungan diplomatik yang diberikan negara dari investor terhadap
negara penerima modal.
Adanya suatu perjanjian untuk
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase akan meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan penyelesian sengketa atau beda pendapat yang termasuk dalam perjanjian
ke Pengadilan Negeri, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam UU
Arbitrase dan APS. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU Arbitrase dan
APS. Berkaitan dengan penyelesaian sengketa penanaman modal asing, maka adapun
yang terkait dengan pengecualian hal diatas adalah :
1.
Masalah pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional merupakan kewenangan dari
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 65 UU Arbitrase dan APS).
2. Putusan
arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 66 huruf d UU
Arbitrase dan APS).
3.
Putusan arbitrase internasional yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai
salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh
eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang selanjutnya dilimpahkan
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 66 huruf e UU Arbitrase dan APS).
4. Ketua Pengadilan Negeri
dapat membatalkan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase atas permohonan
pembatalan yang diajukan oleh pihak yang bersengketa (Pasal 71 ayat (1) dan (2)
UU Arbitrase dan APS).
Dengan demikian, ketika suatu
sengketa penanaman modal telah diputus oleh ICSID, maka putusan tersebut harus
dapat dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Pelaksanaan suatu putusan arbitrase
asing di Indonesia, maka Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional
yang berkenaan dengan hal ini, yaitu Convention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards (New York Convention) melalui
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 Tentang Pengesahan Convention on the
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Dengan pengesahannya
melalui keputusan presiden tersebut, maka hal penting yang diatur adalah
mengena pengakuan serta pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing, yang pada
prinsipnya meliputi segala putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar wilayah
hukum negara Republik Indonesia.
Dengan berlakunya Keppres Nomor
34 Tahun 1981, Indonesia telah mengikatkan diri dengan suatu kewajiban hukum
untuk mengakui dan mematuhi pelaksanaan eksekusi atas setiap putusan arbitrase
asing. Namun demikian, pengakuan dan kewajiban hukum tersebut tidak lepas dari
asas resiprositas antara negara yang bersangkutan dengan negara Indonesia.
Convention on the
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award mulai berlaku pada tanggal 7 Juni 1958, yang
ditandatangani pada tanggal 10 Jun 1958 di New York, lebih dikenal dengan
sebutan Konvensi New York. Konvensi New York merupakan suatu konvensi
internasional yang menyatakan adanya pengakuan dan pelaksanaan dari setiap
putuan arbitrase yang diambil di luar wilaya negara di mana putusan tersebut
akan dilaksanakan. Tujuan dari Konvensi New York ini adalah untuk meningkatkan
hubungan kerjasama diantara negara-negara atau masyarakat internasional
terhadap masalah arbitrase. Dengan demikian, masyarakat internasional dihimbau
untuk mengakui dan bersedia melaksanakan setiap putusan yang diambil oleh
arbitrase di luar territorial suatu negara. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2)
Konvensi New York, maka yang termasuk dalam pengertian putusan arbitrase yang
diakui adalah putusan yang berasal dari arbitrase ad hoc independen dan
putusan yang diambil oleh suatu lembaga arbitrase.
Timbulnya Konvensi New York ini
didahului oleh adanya The Geneva Convention of the Execution of Foreign
Awards pada tahun 1927. Penggunaan arbitrase perdagangan internasional
sebagai cara penyelesaian sengketa mengalami jumlah yang meningkat pada
tahun-tahun setelah perang dunia pertama. Hal ini yang mendorong International
Chamber of Commerce (ICC) untuk mengadakan suatu konvensi internasional
yang bertujuan untuk meniadakan kesulitan pelaksanaan putusan-putusannya yang
melintasi batas negara. Diratifikasi Konvensi New York oleh banyak negara
membawa menampakan bahwa konvensi ni telah menyebar luas di banyak negara
sehingga membawa gambaran bahwa kesadaran masyarakat internasional tentang art
dan peran arbitrase ini (umumnya dapat memperlancar perdagangan internasional
dan khususnya dalam penggunaan arbitrase dan pengakuan arbitrase di dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa komersial internasional). Artinya dengan
banyaknya negara yang terikat, diharapkan putusa arbitrase asing akan lebih
dihormati lagi.
Pasal pertama dalam konvensi
berisi tentang daya berlakunya konvensi dan arti istilah putusan arbitrase.
Pasal 2 sampai dengna Pasal 5 berisi mengenai kewajiban setiap negara untuk
mengakui setiap perjanjian tertulis, yang didalamnya harus berisikan klausula
arbitrase. Pasal 7 mengatur mengenai penegasan tidak berlakunya protokol Jenewa
tentang klausula-klausula arbitrase 1923 dan konvensi Jenewa tentang eksekusi
putusan-putusan arbitrase asing 1927. Pasal 8 sampai dengan Pasal 16 mengatur
tentang keanggotaan konvensi, ketentuan tentang penandatanganan konvensi dan
bahasa otentik yang dipakai dalam konvensi. Adapun asas-asas hukum yang
dijadikan dasar dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional ini antara
lain :
1.
Asas Final and
Binding
Pasal III Konvensi New York
mengatur bahwa ―each contracting state shall recognize arbitral award as binding and enforce them. Maka, setiap negara anggota dari konvensi ini harus
mengakui bahwa putusan suatu arbitrase internasional (asing) merupakan putusan
yang mengikat dan mempunyai kekuatan eksekutorial terhadap para pihak yang terlibat
dalam suatu sengketa. Hal ini juga ditegaskan di dalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 1990 Tentang . Di dalam Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung tersebut
dinyatakan bahwa setiap putusan arbitrase yang diajukan permintaan pengakuan
dan eksekusinya di Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase asing yang
berkekuatan hukum tetap.
Asas ini juga tercermin dalam
Pasal 68 ayat (1) UU Arbitrase dan APS yang berbunyi : Terhadap putusan Ketua
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf d yang mengakui dan
melaksanakan putusan arbitrase internasional, tidak dapat diajukan banding atau
kasasi.‖
Hal ini memperlihatkan bahwa peranan daripada pengadilan nasional adalah
menjalankan fungsi eksekusi dan meneliti apakah ada pelanggaran terhadap
asas-asas dasar yang dilarang dan aturan formal yang bersifat memaksa. Jika
terdapat hal yang seperti itu, maka pengadilan dapat menolak untuk melaksanakan
eksekusi putusan arbitrase internasional tersebut.
2. Asas Resiprositas
Asas ini merupakan asas yang
fundamental dalam Konvensi New York. Asas resiprositas menunjukkan adanya
hubungn timbal balik. Apabila negara kita mengakui putusan arbitrase asing di
Indonesia, maka putusan arbitrase Indonesia juga diakui di negara lain. Asas
ini diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Konvensi New York berbunyi sebagai berikut :
setiap negara anggota peserta
konvensi berhak menyatakan atua mengumumkan pada waktu ratifikasi bahwa
pengakuan dan pengeksekusian putusan arbitrase asing didasarkan atas asas
resiprositas diantara sesama negara peserta konvensi.
3. Asas Ketertiban Umum
Pada Pasal V ayat (2) huruf b
Konvensi New York mengatur bahwa the recognition or enforcement of the award
would be countrary to the public policy. Hal ini menyatakan bahwa putusan
arbitrase internasional yang bertentangan dengan kepentingan umum harus ditolak
untuk dilaksanakan.
Kovensi New York menempatkan
arbitrase sebagai suatu forum yang memiliki kewenangan absolut dalam
menyelesaikan dan memutus sengketa, apabila para pihak telah membuat
persetujuan tentang hal itu. Begitu par apihak membuat persetujuan untuk
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, sejak itu pula arbitrase mempunyai
kompetensi absolut untuk memutus sengketa tersebut. Pasal II ayat (3) Konvensi
New York mengatur bahwabadan peradilan resmi yang terdapat di setiap negara
peserta Konvensi (Contracting State), berupa larangan bagi badan peradilan
untuk mengadili perselisihan yang diminta oleh seseorang, jika ternyata
mengenai perselisihan itu telah disetujui olehnya (dalam perjanjian) untuk
diselesaikan oleh arbitrase.
Berdasarkan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 1990 tanggal 1 Maret 1990 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Arbitrase Asing (selanjutnya disebut Perma Pelaksanaan Arbitrase Asing), maka
putusan-putusan BANI yang menyangkut warga negara asing dapat dieksekui di
negara domisili warga asing atau badan hukum asing, dalam hal pihak warga
negara atau badan hukum itu dikalahkan dan sebaliknya berdasarkan asas
resiprositas maka putusan arbitrase di luar negeri dapat dieksekusi di
Indonesia apabila pihak warga negara atau badan hukum Indonesia dikalahkan.
Pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia, maka pengadilan harus
memperhatikan beberapa asas-asas berikut yang diatur dalam Perma Pelaksnaan
Arbitrase Asing tersebut adalah :
1. Asas Executorial Kracht
Diatur dalam Pasal 2 Perma
Pelaksanaan Arbitrase Asing. Berdasarkan pasal tersebut, maka putusan arbitrase
asing disamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Dengan demikian, putusan arbitrase tersebut mempunyai kekuatan eksekusi
(eksekutorial kracht). Hal ini menunjukkan bahwa setiap putusan
arbitrase asing yang diahukan permintaan eksekusinya di Indonesia harus diakui
keabsahannya dan harus dijalankan eksekusinya.
Adapun pengertian putusan
arbitrase asing melalui Pasal 2 Perma Pelaksanaan Arbitrase Asing adalah
putusan yang dijatuhkan oleh suatu badan arbitrase ataupun arbiter perorangan
di luar wilayah hukum Republik Indonesia.
2. Asas Resiprositas
Asas yang merupakan hal yang
paling penting di dalam Konvensi New York, juga dirumuskan dalam Pasal 3 ayat
(1) Perma Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing bahwa putusan arbitrase asing
hanya diakui serta dapat dilaksanakan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia
apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Putusan itu dijatuhkan oleh
suatu badan arbitrase ataupun arbiter perseorangan di suatu negara yang dengan
negara Indonesia atau bersama sama dengan negara
Indonesia
terikat dalam suatu Konvensi Internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan
putusan arbitrase asing.
b.
Pelaksanaannya didasarkan atas asas timba balik (resiprositas).
c.
Hal ini juga diatur dalam Pasal 66 huruf a UU Arbitrase dan APS bahwa putusan
arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum
Indonesia jika memenuhi syarat yaitu putusan itu dijatuhkan oleh arbiter atau
majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada
perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase asing. Dengan demikian, adanya hubungan bilateral
atau multilateral antara Indonesia dengan negara lain dalam bidang arbitrase
merupakan menjadi syarat yang penting. Asas ini sudah diakui dalam dunia
internasional yaitu tidak ada suatu negara pun akan melaksanakan sesuatu untuk
negara lainnya jika hal tersebut tidak secara timbal balik diakui dan
dilaksanakan oleh negara lain tersebut.16
3. Asas Pembatasan
Menurut Pasal 3 ayat (2) Perma
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, maka jangkauan berlakunya pengakuan serta
pelaksanaan putusan arbitrase asing hanya terbatas pada putusan-putusan yang
menurut hukum Indonesia termasuk dalam dalam ruang lingkup Hukum Dagang.
Kesediaan badan peradilan Indonesia mengakui serta mengeksekusi putusan
arbitrase asing, tidak menyimpang dari putusan yang menyangkut perselisihan
dalam bidang hukum dagang.
4. Asas Ketertiban Umum
Asas ini diatur dalam Pasal 3
ayat (3) Perma Pelaksanaan Arbitrase Asing bahwa putusan arbitrase asing yang
diakui serta yang dapat dieksekusi di Indonesia hanya terbatas pada
putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Hal ini juga
diatur dalam Pasal 66 huruf c UU Arbitrase dan APS bahwa putusan arbitrase
internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada ketentuan
yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Oleh karena itu, asas ini
memberikan kewenangan bagi negara tempat pelaksanaan eksekusi untuk menolak
pengakuan dan pelaksanaan apabila putusan bertentangan dengan kepentingan umum
negara yang bersangkutan.
Berdasarkan dari uraian di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan meningkatnya jumlah hubungan
internasional, terutama dalam bidang hukum perjanjian dan hukum bisnis, maka
meningkat pula jumlah sengketa keperdataan yang terjadi. Cara penyelesaian
sengketa terutama di dalam bidang bisnis lebih banyak diselesaikan melalui
jalur non-litigasi. Penyelesaian melalui jalur non litigasi, terutama di dalam
bidang penanaman modal asing dapat diselesaikan melalui ICSID. ICSID merupakan
suatu lembaga arbitrase permanen yang dibentuk secara internasional khusus
untuk menangani masalah sengeketa antara investor asing dengan negara penerima
modal.
Dengan sifatnya yang final dan
mengikat, maka putusan arbitrase itu akan mengikat para pihak yang bersengketa
dan harus dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, untuk mendukung pelaksanaan
putusan arbitrase asing, maka dibuat suatu perjanjian internasional mengenai
hal tersebut yang kemudian dituangkan dalam suatu konvensi internasional, yaitu
Konvensi New York. Konvensi New York dapat dikatakan sebagai suatu payung hukum
agar suatu putusan arbitrase asing langsung dapat dieksekusi di tempat yang
ditentukan dalam putusan arbitrase tersebut.
Indonesia sebagai salah satu
negara yang meratifikasi konvensi tersebut, maka Indonesia juga harus
menyesuaikan regulasinya dengan ketentuan internasional tersebut. Dengan demikian,
manakala adanya suatu putusan arbitrase asing yang diharuskan untuk pelaksanaan
eksekusinya di Indonesia, maka putusan tersebut harus dapat dilaksanakan. Akan
tetapi, yang terjadi di Indonesia, bahwa suatu putusan arbitrase asing tidak
serta merta dapat dilaksanakan di Indonesia melainkan harus mendapatkan
persetujuanya melalui Pengadilan Negeri atau melalui Mahkamah Agung. Jadi,
meskipun Konvensi New York merupakan dasar untuk pelaksanaan suatu putusan
arbitrase asing di Indonesia, Indonesia juga mengatur hal yang sedikit berbeda
mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Eman Suparman, Arbitrase dan
Dilema Penegakan Keadilan, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, 2012
Gunawan Wijaya, Seri Hukum
Bisnis : Hukum Arbirase,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000
Huala Adolf, Hukum
Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal, Cetakan Pertama, Kedi Media,
Bandung, 2011
Priyatna Abdurrasyid P., Arbitrase
& Alternatif Penyelesaian Sengketa : Suatu Pengantar, PT. Fikahati
Aneska Jakarta, 2002
Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum
Investasi di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008
Rachmadi Usman, Pilihan
Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003
Yahya Harahap M., Arbitrase,
Sinar Grafika, Jakarta, 2006
B. Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1968 Tentang Persetujuan atas Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan antara
Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal
Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 Tentang Penanaman Modal
Keputusan Presiden Nomor 34
Tahun 1981 Tentang Pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement
of Foreign Arbitral Award
Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 1990 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Arbitrase Asing