IKLAN BARIS

DALAM TUGASNYA WARTAWAN KAMI SELALU DIBEKALI KARTU PERS DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA IMBALAN APAPUN DARI NARASUMBER KECUALI IKLAN
RUANG IKLAN

Ahli Pidana: Bekerja Profesional Notaris Tak Bisa Dipidana


Guru besar hukum pidana Uni­versitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Profesor Mud­zakir, menerangkan bahwa pekerjaan seorang notaris diatur oleh undang-undang (UU) untuk melakukan pe­kerjaan dalam perundang-undangan tertentu. Sehingga notaris tidak bisa dipidan­akan jika ia bekerja sesuai dengan aturan dalam perun­dang-undangan.
Hal itu disampaikan Mud­zakir saat memberikan keterangan sebagai ahli, dalam sidang lanjutan duga­an tindak pidana korupsi, pada proyek pengadaan tanah untuk pembangunan Kampus III IAIN Imam Bonjol Padang, Rabu (2/11), yang menjerat Mantan Wakil Rektor IAIN IB Profesor Salma­danis dan rekannya seorang notaris bernama Ely Satria Pilo.
Selain Prof Mudzakir, pihak terdakwa juga menghadirkan dua saksi lain, di antaranya, Firdonal sebagai ahli kenotariatan yang menjabat Majelis Kehormatan Notaris untuk Wilayah Jakarta, serta Profesor Makmur Syarif (Mantan Rektor IAIN IB Padang) sebagai saksi a de charge (saksi meringankan).
“Notaris bersifat pasif dan bekerja secara profesional. Dalam hal pengurusan akta otentik, jika notaris telah menanyakan kebe­naran dokumen kepada pihak yang mengurus akta, dan dibenar­kan oleh pihak tersebut. Lalu notaris mendaftarkannya ke Ba­dan Pertanahan Nasional (BPN) agar terbit sertifikatnya. Sampai di situlah pekerjaan notaris,” kata Mudzakir.
Untuk menetapkan sebuah tindakan sebagai pelanggaran melawan hukum yang menye­babkan kerugian keuangan negara, sebagaimana dijelaskan pada pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana ko­rupsi, katanya, mesti dilihat apakah benar perbuatan yang dilakukan melawan hukum atau tidak.
Mudzakir juga menerangkan soal pentingnya memilah antara perbuatan melawan hukum pida­na dengan melawan hukum admi­nistrasi. Untuk menentukan per­bua­tan tersebut, cara membeda­kannya adalah dengan melihat sikap batin dari seseorang.
“Jika disangka perbuatan pelanggaran administrasi yang menjadi proses awal untuk mela­kukan pelanggaran pidana, itu baru bisa dibawa ke ranah pidana. Nama iktikadnya adalah iktikad buruk yang kriminal,” kata ahli pidana yang juga menjadi ahli dalam kasus persidangan Jessica Kumala Wongso tersebut.
Ia juga menerangkan soal kelirunya penetapan status se­seorang sebagai tersangka korup­si, yang kebanyakan hanya ber­landaskan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang hanya menghitung kerugian nega­ra untuk kemudian diserahkan kepada penyidik.
“Dari sini saja sudah melang­gar asas praduga tidak bersalah. Yang diaudit itu soal kerugian saja. Harusnya BPK mengaudit secara menyeluruh dengan proses investigasi untuk menemukan kerugian atau keuntungan. Jadi apapun hasilnya, itu yang dila­porkan. Audit itu jangan hanya audit atas permintaan penyidik. Kalau proses pembuktian oleh BPK hanya berdasarkan permin­taan penyidik, maka itu sudah salah dari awal,” pungkasnya.
Ahli kedua, Firdonal yang dalam riwayat karirnya telah sering menjadi ahli untuk kasus-kasus menyangkut kenotariatan mene­rangkan,  notaris dalam menja­lankan profesinya sebagai pejabat umum, diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan notaris, yang diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan UU jabatan notaris.
“Jadi pekerjaan ini dilindungi undang-undang. Notaris diangkat oleh negara sebagai pejabat umum yang mengeluarkan produk beru­pa akta otentik. Meski tidak digaji negara, notaris boleh men­cari honorium dari para pihak,” kata Firdonal mengawali ketera­ngan.
Diterangkannya, pengadaan tanah untuk selain kepentingan umum, sebagaimana pengadaan tanah untuk Kampus III IAIN IB Padang, notaris mengambil lan­dasan pada Peraturan Menteri Agraria Nomor 65 Tahun 2006 tentang pengadaan tanah.
“Dalam aturannya, kalau ta­nah itu bersertifikat, maka produk akta otentiknya adalah akta jual beli. Tapi kalau tidak bersertifikat, seperti objek tanah bekas pemi­likan adat, yang akan dilepaskan haknya pada pemerintah, maka produknya akta pelepasan hak. Itu sah secara undang-undang,” katanya lagi.
Firdonal juga menjelaskan, tidak ada aturan yang melarang notaris membuat akta pelepasan di luar kantor notaris bersang­kutan, seba­gaimana dilakukan Ely Satria Pilo dalam kasus ini. Selain itu, seorang notaris juga dibolehkan membe­rikan bantuan konsultasi hukum dalam rangka mempersiapkan per­buatan akta tersebut.
“Misalnya untuk beberapa proses pembuatan akta yang terkendala kurangnya persyaratan. Notaris boleh saja membantu selama mereka mendapat kuasa, asal dengan data dari para pihak yang diakui kebenarannya oleh para pihak. Sifatnya ini kasuistik,” bebernya lagi.
Senada dengan ahli sebelum­nya, Firdonal juga menegaskan bahwa akta otentik yang diha­silkan merupakan kewenangan dan tanggung jawab para pihak. Jika di kemudian hari ada ke­tentuan yang terlanggar dalam akta tersebut, maka dipersilakan para pihak untuk membatalkan akta tersebut.
Sementara itu, Profesor Mak­mur Syarif selaku saksi a de charge untuk terdakwa Profesor Salmadanis, di hadapan majelis hakim mengatakan ia baru di­angkat menjadi rektor IAIN IB Padang pada tahun 2011, tepat setelah dilakukan pembayaran tanah oleh IAIN IB Padang kepada para pemilik tanah.
“Informasi yang saya tahu, tanah yang benar-benar sudah milik IAIN itu sekitar 30 hektare. Saya mendapat laporan masalah tanah di Sungai Bangek ini dari terdakwa Salmadanis. Katanya ada pihak yang mengklaim tanah yang belum bersertifikat. Kami pun menghadap ke Musriadi pada 2012 di BPN Padang soal tanah yang bermasalah itu, jawa­bannya persoalan administrasi. Sedangkan soal sengketa saling klaim, saya tidak diberitahu oleh BPN,” kata Makmur.
Sidang yang dipimpin Yose Ana Rosalinda selaku hakim ketua dengan hakim anggota Perry Desmarera dan Emria itu akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda keterangan ahli selanjutnya dari pihak terdakwa. Agenda ini pun disepakati oleh Mulyadi Sajaen, Lily Maria Yulis dan Ekky selaku jaksa penuntut umum (JPU) dengan Fauzi No­valdi, Syahril dan Septi selaku Penasihat Hukum (PH).
Dalam dakwaan dijelaskan, Salmadanis diduga memberi pe­kerjaan kepada Ely Satria Pilo untuk membuat sertifikat atas beberapa objek tanah guna pem­ba­ngunan Kampus III IAIN IB Padang, yang beberapa objek diduga fiktif, dan beberapa lain­nya diduga dikerucutkan harga­nya. Dugaan perbuatan tersebut dinilai mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp1.946.701.050.
Atas perbuatannya, Salmada­nis dan Ely Satria Pilo diancam pidana dalam pasal 3 Juncto Pasal 18 Ayat (1) huruf a dan b, Ayat (2) dan Ayat (3) UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang telah ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (h/isq)

Sumber : http://harianhaluan.com/news/detail/61582/ahli-notaris-tak-bisa-dipidana